EMPAT SILA UTAMA menurut KEJAWEN

Empat Sila Utama Pola Hubungan SEORANG KEJAWEN

Yang kemudian dijabarkan menjadi 12 sila namun sang kejawen masih bertentangan dengan penjabarannya sendiri  ( 9. Hormat Marang Kabeh Agomo: artinya, hormatilah semua agama atau aliran, dan para penganutnya. Agama adalah ageming aji, yang mengatur dan menata diri meng-Olah Roso untuk menjadikan manusia-manusia yang berbudi pekerti luhur.)
*   Masuknya agama-agama import, membungkus pemaafan kepada seseorang diikuti, keharusan orang itu menerima kembali orang yang menyakitkan dirinya sebagai orang yang seolah baru lahir kembali tanpa kesalahan. Hal ini dimaksudkan agar orang-orang lokal lengah terhadap pembusukan nilai-nilai lokal oleh para tokoh-tokoh agama import tadi. Mengingat budaya orang-orang lokal yang sangat sengkretis, hal ini dimanfaatkan untuk merusak nilai-nilai yang sudah ada.*
opo sing diucapno ora dilakoni  ( apa yang dikatakan tidak dihayati )

ojo rumongso wis apik dewe yen durung weruh awak e dewe ( Jangan merasa baik sendiri sebelum tahu siapa dirinya )
walaupun ke 4 sila ini sudah ada dalam ISLAM
Yang dirangkum menjadi 2 yaitu
1. Hablu Minallah ( Hubungan dengan Allah ( Gusti Allah SWT )
2. Hablu Minannas ( Hubungan dengan Manusia ) termasuk dengan Penghuni Alam Dunia ini.....


1. Eling Lan Bekti marang Ghusti Kang Murbeng Dumadi: artinya, kita yang ingat, seyogyanya harus selalu mengingat dan menyembah Gusti (Tuhan Yang Maha Esa) dalam setiap tarikan nafas kita. Dimana Gusti Yang Esa telah memberikan kesempatan bagi kita untuk hidup dan berkarya di alam yang indah ini.

2. Setyo marang Penggede Negoro: artinya, sebagai manusia yang tinggal dan hidup di suatu wilayah, maka adalah wajar dan wajib untuk menghormati dan mengikuti semua peraturan yang di keluarkan pemimpinnya yang baik dan bijaksana.

3. Bekti marang Bhumi Nuswantoro: artinya, sebagai manusia yang tinggal dan hidup di bumi nusantara ini, wajar dan wajib untuk merawat dan memperlakukan bumi ini dengan baik, dimana bumi ini telah memberikan kemakmuran bagi penduduk yang mendiaminya. Dengan berbakti dan menjaga kelestarian alam, maka alam akan memberikan yang terbaik untuk kita yang hidup di atasnya.

4. Bekti Marang Wong Tuwo: artinya, kita tidak dengan serta merta ada di dunia ini, tetapi melalui perantara ibu dan ayah, maka hormatilah, mulyakanlah orang tua yang telah merawat kita. Berbakti kepada ayah dan ibu yang telah memberikan kita jalan untuk meraih kehidupan disini.

5. Bekti Marang Sedulur Tuwo: artinya, menghormati saudara yang lebih tua dan lebih mengerti dari pada kita, baik tua secara umur, secara derajat, pengetahuan maupun kemampuannya.

6. Tresno Marang Kabeh Kawulo Mudo: artinya, menyayangi orang yang lebih muda, memberikan bimbingan, dan menularkan pengalaman dan pengetahuan kepada yang muda. Dengan harapan, yang muda ini akan dapat menjadi generasi pengganti yang tangguh dan bertanggung jawab.

7. Tresno Marang Sepepadaning Manungso: artinya, yang perlu diingat dan dicamkan dalam hati yang terdalam adalah, bahwa semua manusia sama nilainya dihadapan Gusti. Karenanya, hormatilah sesamamu, dimana mereka memiliki harkat dan martabat yang sama denganmu, dan sederajat dengan manusia lainnya. Cintailah sesamamu dengan tulus ikhlas.

8. Tresno Marang Sepepadaning Urip: artinya, semua yang di ciptakan Ghusti adalah mahluk yang ada karena kehendak Gusti yang Kuasa, karena mereka memiliki fungsi masing-masing, dalam melestarikan kita bersama alam ini. Dengan menghormati semua ciptaanNya, maka kitapun telah menghargai dan menghormatiNya.

9. Hormat Marang Kabeh Agomo: artinya, hormatilah semua agama atau aliran, dan para penganutnya. Agama adalah ageming aji, yang mengatur dan menata diri meng-Olah Roso untuk menjadikan manusia-manusia yang berbudi pekerti luhur.

10. Percoyo Marang Hukum Alam: artinya, selain Gusti menurunkan kehidupan, Gusti juga menurunkan hukum alam dan menjadi hukum sebab akibat, siapa yang menanam maka dia yang menuai. Kita ini hidup di alam dualitas, dan akan terikat dengan hukum-hukum yang ada selama masih berdiam di pangkuan alam tersebut, dan hormatilah alam dan hukumnya.

11. Percoyo Marang Kepribaden Dhewe Tan Owah Gingsir: artinya, manusia ini rapuh, dan hatinya berubah-ubah, maka hendaklah menyadarinya dan dapat menempatkan diri di hadapan Gusti, agar selalu mendapat lindungan dan rahmatNya dalam menjalani hidup dan kehidupan ini. Dengan terus melakukan Olah Roso, berarti kita terus menata diri demi meraih pribadi yang berbudi pekerti luhur memayu hayuning bawono.

12. Bekti Marang Mahluk Liane: artinya, menghormati mahluk lain ciptaanNya juga, seperti ia menghormati manusia lainnya Tresno marang sepepadaning manungso.

Duabelas (12) makna di atas sebenarnya merupakan penjabaran, bagaimana sebaiknya seorang Kejawen harus berprilaku dengan 4 Sila Dasar Utama Pola Hubungan dengan apa yang ada di luar dirinya:

1. Hubungan Manusia dengan Ghusti (Tuhan Yang Maha Esa)
2. Hubungan Manusia dengan Alam Semesta
3. Hubungan Manusia dengan Mahluk lain
4. Hubungan Manusia dengan sesama Manusia

Dalam urutan di atas, jelas bahwa hubungan manusia dengan sesama manusia adalah hubungan yang paling rendah. Di sinilah filosofinya, bahwa manusia harus menyayangi semua kehidupan, agar hidup ini bahagia. Jadi seorang Kejawen Sejati, jangan pernah mengatakan bahwa manusialah mahluk yang paling sempurna, karena pikiran itu hanya akan membuat diri ini ingin menang sendiri.

Jadi jelas bahwa seorang Kejawen harus menjaga keseimbangan Sopan Santun dengan pihak lain (orang lain, alam, mahluk halus, sesepuh, dsb). Menyayangi semua kehidupan bukan berarti memberi toleransi pada kejahatan yang dilakukan oleh pihak lain (orang lain, dan mahluk lain).


Pola Komunikasi

Sesama manusia, maka kita bicara kemudian ditangkap oleh lawan bicara dan dimengerti, lalu dijawab. Kepada Gusti, maka kita akan bicara dengan diri sendiri, apakah benar yang kita rasakan dan pikirkan (sebelum kita sampaikan kepada Gusti) Gusti sudah mengerti dan sudah langsung menjawabnya.

Jadi kalau kita berdo’a atau Sembah Hyang dengan bukan bahasa ibu, dimana yang terjadi antara perasaan dan pikiran kita, mungkin tidak sesuai dengan bahasa yang kita sampaikan. Meskipun demikian Gusti akan tetap mengerti dan menjawab tepat sesuai permohonan perasaan dan pikiran kita, tetapi hal ini justru dapat memperolok-olok Tuhan Yang Maha Esa. Mengapa? Karena kita tidak paham isinya.

Sebagai contoh, seorang pemuka agama yang paham benar dengan bahasa agama import tertentu, memberikan do’a yang notabene mendoakan dirinya, tetapi kita yang tidak mengerti menggunakan do’a tersebut untuk permohonan kita. Bagaimana? ( berdo'a dalam bahasa Djawa ,boleh !! )

Jadi untuk tidak memperolok-olok Tuhan Yang Maha Esa, seyogyanya berdo’a atau bersembahyang dengan bahasa ibu. ( Mempunyai kelemahan , karena apabila yang sembahyang dari berbagai Negara akan terdengar Gak Karuan )  contohnya Gusti Moho Suci  orang Arab bilang Subhanallaoh orang madura Duh Pangeran......dll.  Karena dengan bahasa ibu kita tahu persis, tidak hanya isi dan arti yang terkandung, tetapi makna yang terkandung pun kita paham. Selain itu, kita dapat memilihkan dan menggunakan kosa kata yang pantas kepada Gusti.

Sebagai contoh, kata minta dan mohon mempunyai arti yang sama, tetapi pantaskah kita menggunakan kata minta kepada Tuhan Yang Maha Esa?

Seorang Kejawen Sejati, berbicara dengan sesama manusia saja ada tingkatannya. Usia sebaya atau di bawahnya dan orang yang lebih tua. Jadi untuk berkomunikasi atau menyampaikan perasaan dan pikirannya kepada Gusti, selain pemilihan bahasa yang santun, juga dengan tehnik Olah Roso.

Bahasa ibu seseorang adalah sebuah prilaku yang melekat pada diri orang tersebut. Sehingga apapun yang dikatakan merupakan pengadilan bagi dirinya sendiri. Oleh karenanya ada pribahasa: mulutmu harimaumu. Intinya, jika kita bersembahyang dengan bahasa ibu, hal ini akan mempunyai dampak yang lebih positif, ketimbang kita berdoa dengan bahasa hafalan yang kita tidak mengerti maknanya. Karena dari apa yang kita ucapkan, kita lebih mengerti akan tanggung jawab yang kita emban, yang mana semuanya tercermin dalam rangkaian kosa kata kita dalam berdo’a.

Kita semua tahu, makna sembahyang itu tidak hanya memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa, tetapi juga bertanggung jawab atas apa yang kita mohonkan. Bagi orang yang punya niat jahat, memang lebih enak sembahyang dengan bahasa yang ia sendiri tidak mengerti, karena (secara psikologis) hal itu tidak menimbulkan rasa tanggung-jawab pada dirinya, yang ada hanyalah harapannya saja yang ia mohonkan. Dengan demikian, bagi orang yang punya niat jahat, sembahyang dengan do’a-do’a yang ia sendiri tidak mengerti maknanya, akan melindungi dirinya dari rasa berdosa.

Sebagai seorang yang berbudi luhur, hendaknya kita dapat bersyukur, sekaligus mempertanggung-jawabkan do’a yang kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Bagi seorang Kejawen, dendam adalah suatu yang membebankan dirinya. apalagi, jika dirinya sedang melakukan puasa. Oleh karenanya, seorang Kejawen seyogyanya tidaklah memiliki dendam kepada siapapun. Semua perbuatan yang menyakitkan oleh orang lain kepada dirinya, seyogyanya harus cepat-cepat dimaafkan (diminta atau tidak).

Masuknya agama-agama import ( Agama Asli Bangsa Djawa adalah Animisme Dinamisme ) , membungkus pemaafan kepada seseorang diikuti, keharusan orang itu menerima kembali orang yang menyakitkan dirinya sebagai orang yang seolah baru lahir kembali tanpa kesalahan. Hal ini dimaksudkan agar orang-orang lokal lengah terhadap pembusukan nilai-nilai lokal oleh para tokoh-tokoh agama import tadi. Mengingat budaya orang-orang lokal yang sangat sengkretis, hal ini dimanfaatkan untuk merusak nilai-nilai yang sudah ada.

Sekarang, sebagai orang Kejawen yang belajar dari pengalaman buruk, dari pengaruh buruk budaya asing (yang dibawa oleh agama-agama import), kita harus mengasah Kewaspadaan yang bukan dendam, sehingga orang tadi tidak bisa serta-merta membodohi lagi, perasaan orang lokal yang sangat luhur (salah satunya tanpa prasangka buruk).

Banyak apologi yang mengatakan bahwa tidak baik memutus tali silahturahmi kepada siapapun. Tetapi demi kewaspadaan memutus tali silahturahmi kepada orang jahat adalah suatu keharusan ( Ini bukan ajaran kejawen ) . Sebagai contoh: waspada terhadap orang yang pernah menipu/ merampok kita, adalah langkah yang benar agar kita tidak tertipu untuk kedua kalinya.



maka perlu saya garis Bawahi Bahwa KEJAWEN ASLI ( Adalah MONOTEISME ) yang percaya kepada Alloh SWT Yang kemudian berkembang menjadi KEJAWEN sekarang ini melalui seorang Tokoh sufi Syech Siti Jenar yang telah mencapai Mahrifatulloh yang menjunjung Al - Qur'an dan Al hadist sebagai Pedoman dasar menuju kesempurnaan sejati menjadi KEJAWEN SEJATI

KEJAWEN ,sekali lagi bukan sebuah agama ,akan tetapi sebuah jalan ( Cara ) menuju kesempurnaan untuk mengenal Gusti Alloh ,dan apabila manusia sudah mecapai kesempurnaan Ibadah maka dapat disebut MANUGGALING KAWULO LAN GUSTI.......


Comments

Popular posts from this blog

KITAB PANGIWO PANENGEN III

PANGIWO - PANENGEN JILID V TAMAT

AJIMAT KALIMOSODO